Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memacu pertumbuhan bisnis bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), salah satunya dengan cara fokus dalam pemanfaatan pemasaran digital yang kian beragam saat ini. Berbicara mengenai hal itu, salah satu pelaku UKM yang menarik perhatian kami ialah Brodo Footwear. Melalui pemasaran digital, Brodo kini sukses menjalankan bisnis sepatu kulit yang bisa menarik perhatian para angel investor.
Didirikan oleh Muhammad Yukka Harlanda dan Putera Dwi Karunia yang merupakan dua jebolan Teknik Sipil ITB, Brodo kini menjadi sosok pelaku UKM yang sukses memanfaatkan pemasaran digital untuk memajukan bisnis sepatu kulit yang awalnya diakui oleh Yukka dimulai sebagai “proyek iseng” untuk mengisi waktu luang selagi tugas akhir kuliah.
Yukka mengaku, pemasaran digital memegang peranan yang sangat penting untuk kemajuan bisnis Brodo hingga namanya dikenal oleh kalangan luas. “Pemasaran digital memegang peranan 100% terhadap penjualan kami, apapun itu platform digital terbaru kami pasti bereksperimen dengannya,” ujar Yukka kepada DailySocial.
Masuk ke pemasaran digital juga berarti berurusan dengan target pasar yang semestinya sesuai agarcampaign yang dijalankan tidak sia-sia. Ketika ditanyakan perihal ini, Yukka mengungkapkan, Brodo memiliki fokus untuk menargetkan pelanggan yang segmented dan akrab dengan dunia teknologi. “Kami fokus kepada customer kami yaitu pria urban umur 19-35 yang internet savvy, fasih akan teknologi dan socially active,” ungkapnya.
Dalam pemasaran digital, Brodo sendiri beberapa waktu lalu sempat menjadi bagian dari kisah sukses Facebook dalam memajukan bisnis UKM lewat layanan Facebook Page, selain itu Brodo juga memiliki situs e-commerce yang punya layanan penjualan produk sepatu secara online yang cukup prima.
Manfaat positif dari pemasaran digital yang dirasakan oleh Yukka rupanya tak hanya berimbas kepada kemajuan bisnisnya di ranah online saja, Brodo yang saat ini telah memiliki dua toko offline di bilangan Jakarta dan Bandung itu juga merasakan dampak dari pemasaran digital yang terus digenjot oleh produsen sepatu yang berdiri sejak 2010 silam tersebut.
“Penjualan kami terdiri dari online dan offline, dimana porsinya lebih berat di penjualan online, namun toko kami di Kemang Jakarta dan di Gudang Utara Bandung tidak terletak di daerah strategis yang mudah ditemukan, tetapi tiap minggu selalu didatangi oleh ratusan calon customer yang sudah tahu produk apa yang akan mereka beli. Ini semua bisa terjadi karena pemasaran digital,” katanya.
Sisi finansial
Suksesnya Brodo meramu produk dan upaya pemasaran yang ciamik, nyatanya berbuah pencapaian yang mungkin didamba-dambakan oleh sebagian pengusaha yakni; pendanaan. Yukka kembali mengutarakan kepada kami, Brodo yang awalnya dibangun dengan semangat bootstrap, saat ini telah “dibekingi” oleh dua angel investor yang datang dari latar belakang berbeda namun bisa menjadikan Brodo semakin mantap menyempurnakan bisnis.
“Kami bootstrap gila-gilaan pada awal tahun pendirian, tahun kedua kami mendapatkan dana dari seorang angel investor asal Medan, yaitu Christopher Angkasa. Chris mempunyai background financesehingga membantu kami disiplin dalam segi finansial dari awal pendirian. Tahun ketiga kami secara kebetulan bertemu dengan Remco Lupker, mantan CEO Tokobagus. Di situ kami berdiskusi dan menemukan kecocokkan dari segi visi dan company culture, sehingga kami menerima pendanaanangel tahap dua dari Remco. Kombinasi knowledge Remco dibidang e-commerce dan Chris dibidangfinance membuat kami bisa terus berkembang dengan cepat hingga sekarang,” tutur mantap pengusaha muda yang baru berusia 26 tahun tersebut.
Perkembangan bisnis
Dari pendanaan yang diraih, tak main-main Brodo langsung meningkatkan kemampuan bisnis UKM-nya yang tadinya hanya beroperasi secara “manual” di ruangan kost, kini telah memiliki gudang yang bisa menyimpan ribuan stok produk dengan sistem inventory management modern yang bisa saling terintegrasi.
“Dulu kami start produksi puluhan sepatu dengan sistem fulfillment manual menggunakan aplikasi BBM, SMS, dan Excel. Semuanya dilakukan di kost-kostan. Namun sekarang kami sudah punyawarehouse yang bisa menampung sekitar 18.000 sepatu dan dibantu oleh beberapa software untukinventory management sehingga bisa sync dengan database e-commercedatabase customer, dan sistem customer service,” papar Yukka.
Kemajuan yang diraih Brodo saat ini tak membuat punggawanya berpuas diri begitu saja. Yukka kembali mengungkapkan, ia dan segenap timnya saat ini tengah fokus untuk terus melakukan pembenahan di berbagai sisi sembari bersiap untuk menerima institutional funding dalam waktu dekat. Sayangnya hal ini tak disertakan informasi lebih lanjut mengenai siapa pihak yang akan berinvestasi kepada Brodo.
Kisah sukses Brodo tadi sepatutnya bisa menjadi contoh bagi industri UKM Indonesia yang kini semestinya semakin melek dengan pemasaran digital yang punya manfaat tak terbatas. Untuk memanfaatkan hal ini tak perlu lagi berbicara mengenai infrastruktur dan segala fasilitasnya karena hal tersebut kini tengah dibangun bersama-sama baik itu dari pihak pemerintah maupun swasta. Agar tak sia-sia, pemanfaatan pemasaran digital seharusnya bisa lebih maju lagi di masa mendatang. Semoga saja. (sumber https://dailysocial.net/post/fokus-garap-pemasaran-digital-kunci-sukses-bisnis-brodo-footwear)
3. Perilaku Pasar

SEPATU BRODO PRODUKSI HINGGA 4.500 PASANG/BULAN


Melalui digital marketing, sepatu Brodo kian tenar di kalangan anak muda pecinta fesyen. Dalam waktu empat tahun, jumlah produksinya mencapai 4.500 pasang/bulan dari semula 30 pasang/bulan.
Kisah sukses Brodo bermula dari kebingungan Muhammad Yukka Harlanda ketika mencari sepatu formal. Kaki Yukka hanya muat untuk sepatu ukuran 46. Ini membuatnya susah mencari sepatu formal. Kalau pun ada, harganya mahal. Tak tertebus oleh kantong mahasiswanya ketika itu. “Ya ,sudah akhirnya coba-coba bikin sendiri. Ada temen yang juga interest pada bisnis,” ujar kelahiran Jakarta 18 Juli 1988 ini kepada Sigit A. Nugroho.
BrodoYukka
Yukka sepakat patungan dengan Putra Dwi Karunia — teman sefakultas di Institut Teknologi Bandung. Lalu, keduanya setor modal hingga terkumpul Rp 7. Kemudian, mencari vendor sepatu. “Di Cibaduyut itu kan memang surganya sepatu. Kami cari di situ setelah coba desain sendiri,” ujar lulusan Teknik Sipil ini. Duit Rp 7 juta itu jadi 30 pasang sepatu. Itu terjadi tahun 2010.
“Awalnya kami jual ke keluarga, teman, temannya teman, teman dari temannya teman teman. Istilahnya kami paksa mereka mau beli. Mau dicicil, utang, pokoknya harus beli. Hahahaha…” Yukka berkelakar soal masa susahnya itu.
Kala itu, bagi Yukka, yang penting produknya laku dan modal bisa berputar. Maklum, Yukka mengaku tidak punya pengetahuan apa pun soal sepatu. “Malah kalau lebih dulu punya pengetahuan, mungkin saya tidak jadi bisnis sepatu,” ujar dia. Pasalnya, dalam bisnis ini boleh dibilang persaingannya berat. Soal pemain, misalnya. Banyak pemain yang “memelihara” vendor, perajin. Ini jelas merepotkan. Yukka menghabiskan waktu dua bulan untuk mencari vendor.
Begitu dapat vendor, Yukka dan Putra tak mau menyia-nyiakan. Dirinya mengedepankan great design dan great service. “Saya lihat desain-desain sepatu di luar negeri, dan menciptakannya lagi,” tutur dia. Dia mengklaim memberikan material, desain yang berkualitas dengan harga yang masuk akal. Benar saja, sepatu besutannya makin digandrungi. Pesanan mulai berdatangan. Bulan kedua, sudah melakukan restock. “Waktu itu sudah gunakan Brodo. Kata itu diambil dari Bahasa Italia, artinya ‘kaldu ayam’. Kenapa Brodo, ya muncul begitu saja,” ujarnya soal penamaan merek sepatunya. Masa awal-awal, Brodo dijual Rp 375.000/pasang.
BrodoYuka2
Melihat bagusnya apresiasi pasar, Yukka mulai menetapkan target-target bisnis dan menyusun strategi. Kala itu dirinya bertekad bisnisnya harus settle dalam waktu empat tahun. Untuk itu, merek harus makin dikenal. Yukka dan Putra lantas memanfaatkanFacebook untuk mengenalkan produk sekaligus jualan. Tahun 2010 Facebook Page sedang ngetren.
Entah kebetulan atau tidak, saat itu ada kelemahan pada sistem Facebook, khususnya untuk Page. Dengan mengisikan commandtertentu pada coding, maka Facebook Page dapat mendapatkan Like dari seluruh daftar teman. “Jadi kami bawa laptop ke kampus. Suruh teman login pakai laptop tersebut, maka Like-nya akan nambah sendiri, ” kenang Yukka. Sarana digital memang dimanfaatkan benar oleh Yukka. Mulai dari e-mail, Google Ads, Google Display Network, Twitter, Instagram, Path, hingga Youtube.
Selain melalui ranah digital, Yukka juga mengikutkan Brodo ke berbagai pameran dan juga dipajang di distro. Sepanjang 2011, produk Brodo mejeng di Goods Dept, Bright Spot Market, dan berbagai distro di Jakarta dan Bandung. “Tapi akhir 2011, kita tarik semua. Saya fokuskan melalui digital,” ujar Yukka.
Sejak tahun 2012, Brodo hanya dijual melalui store Brodo di Bandung dan kanal social media. Transaksinya menggunakanBlackBerry Massanger. “Kita punya 12 BB untuk transaksi,” katanya. Sekitar Agustus 2013, Brodo memiliki website e-commercesendiri dengan alamat www.bro.do, setelah sebelumnya mendirikan Brodo Store di Jalan Kemang Selatan 8 No 64B, Jakarta. Praktis, sejak 2012 Brodo menggunakan channel distribusi sendiri: e-commerce dan toko.
“Itu strategi kita untuk berikan customer experience. Kalau lewat distro atau toko orang lain, kan belum tentu pelayannya tahu produk kita dengan benar,” tuturnya. Tampaknya, Brodo Store ingin mengusung konsep knowledge sharing. Ini dapat dilihat, misalnya dari tidak adanya price tag pada produk yang dipajang. Dari situ, komunikasi antara pelanggan dan penjaga toko terjadi. “Orang di sini tahu semua produk yang dipajang, mulai dari harga, material hingga teknik pengerjaan sepatunya,” ujar Yukka.
Demikian pula dengan customer service (CS) yang ada di e-commerce Brodo. Awak CS harus bisa melayani pelanggan Brodo layaknya teman baik. “Makanya kita selalu lakukan training agar mereka bisa melayani pelanggan sesuai dengan visi-misi Brodo,” tutur Yukka.
Berbagai strategi yang ditempuh tersebut membuat nama Brodo patut diperhitungkan di dunia fesyen Tanah Air. Saat ini produksi sepatu yang dibanderol antara Rp 250.000 hingga Rp 595.000 itu mencapai 4.500 pasang/bulan. “Kita masih fokus garap pasar dalam negeri, potensinya besar. Pasar luar negeri belum worth it, tidak efisien. Kalau buat gaya-gayaan doang ya bisa saja,” ungkap Yukka soal kemungkinan ekspor, meski tak jarang ada pesanan dari luar negeri. Kini founder PT Harlanda Putra itu tengah fokus mengejawantahkan tiga prinsip perusahaannya: awesome design, awesome customer experience, dan awesome company culture. (sumber http://swa.co.id/headline/sepatu-brodo-produksi-hingga-4-500-pasangbulan )
Artikel dibawah menjelaskan tentang perilaku konsumen dan juga pengaruh budaya bagi masyarakat di indoneia.
3. Perilaku Konsumen Dan Pengaruh Budaya

Singkong dalam Modernitas, Masyarakat Urban, dan Identitas Antar Waktu


            Indonesia merupakan negara yang memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dengan pesona alamnya yang masih subur dan hijau, dengan 16.000 pulaunya yang beragam, bahasanya yang mencapai ratusan, suku, seni dan budayanya, juga keunikan daerahnya masing-masing. Sebagai warga negara Indonesia kita seharusnya patut bersyukur dengan apa yang telah ada di Indonesia. Memanfaatkan segala yang ada dengan baik. Namun, hal ini masih belum memungkinkan. Di Indonesia banyak berdiri pabrik-pabrik milik luar negri, perusahaan milik pengusaha asing, berdiri mall-mall, pusat perbelanjaan yang meniru gaya asing. Segalanya di Indonesia sekarang ini mengikuti gaya kebarat-baratan. Banyak pengaruh asing yang masuk dan secara tidak langsung, pelan tapi pasti telah mempengaruhi dan menggerogoti sendi-sendi Indonesia.
            Indonesia kehilangan jati diri bangsa, kehilangan ibunya, hilang arah. Sekarang para masyarakat Indonesia sendiri belum tentu tahu, belum tentu mengerti segala sesuatu mengenai bangsanya sendiri. Dari adat, falsafah hidup, jati diri, dan seni budaya yang ada pada bangsanya. Ini dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh asing yang masuk tanpa di saring terlebih dulu di Indonesia. Segala barang dan merek yang ada berasal dari luar negeri, segalanya serba impor, antara lain; kedelai impor, beras impor, sapi impor, dan berbagai macam bahan pokok dan barang lainnya.
            Dahulunya Indonesia adalah negara yang masih dibalut dengan nuansa tradisional yang sangat kental, namun seiring kemajuan teknologi, masuknya pengaruh barat ke Indonesia mengakibatkan adanya perubahan besar dimana segala sesuatu serba modern, serba canggih, cepat, instan, teknologi semakin beragam yang membuat segalanya serba mudah. Selain itu hal ini mempengaruhi perilaku masyarakar juga dimana konsumerisme masyarakat semakin tinggi, gaya hidup masyarakat juga berubah ke modern, dikesampingkannya nilai-nilai tradisional, juga memudarnya identitas kelokalan dalam tubuh setiap masyarakat.
            Dalam makalah ini penulis ingin menyampaikan salah satu dari imbas modernitas yang saat ini sedang terjadi, yaitu modernitas makanan. Tidak bisa dipungkiri di zaman yang serba canggih dan modern ini segala kebutuhan juga mengikuti arus zaman, mulai dari teknologi komunikasi yang modelnya beragam, life style dari pakaian, kecantikan, gaya hidup manusia itu sendiri juga berubah mengikuti zaman, dan salah satunya yang akan disampaikan penulis yaitu mengenai makanan. Di sini penulis menyoroti salah satu makanan tradisional Indonesia yang sekarang ini telah ikut melambung ke dunia modern yaitu singkong. Singkong merupakan makanan tradisional Indonesia, selain itu di beberapa daerah singkong juga telah menjadi bahan makanan pokok dalam kehidupan sehari-hari, biasanya yang mengkonsumsi singkong adalah masyarakat desa. Selain padi yang menjadi alternative makanan pokok, singkong pun juga tak ketinggalan, karena selain juga sama mengenyangkan, singkong juga mudah untuk ditanam, cepat besar, dan bagi masyarakat harga singkong bisa dibilang murah palagi untuk kantong wong cilik. Namun, seiring modernitasnya zaman, singkong semakin terpinggirkan, tergantikan dengan makanan modern dari luar seperti roti, chicken, pizza hut, burger, dan lain sebagainya. Paling-paling kita bisa menjumpai singkong rebus di desa, dan di kota, kita hanya menemui makanan yang berbau keju, saus, sandwich.
            Namun jangan salah, di zaman yang serba canggih ini tentu yang biasa-biasa bisa dirubah menjadi luar biasa, yang ndeso berubah modern, termasuk juga singkong, makanan dari desa ini pun bisa ngluyur ke kota dengan penampilan berbeda mengikuti arus zaman yang canggih ini. Dalam makalah ini penulis akan menggali maksud dari perubahan singkong dari tradisional ke modern, nasib singkong saat ini yang sudah di dandani dengan berbagai macam bedak, apa yang mendasari perubahan ini, dampak-dampak yang ditimbulkan khususnya pada masyarakat urban, serta identitas hubungan antar waktu yang dialami oleh singkong dari nuansa yang dulunya tradisional berubah menjadi style modern. Singkong sering disebut-sebut sebagai bahan makanan ndesa atau berasal dari kampung. Meski saat ini beraneka ragam usaha makanan yang berbahan dasar singkong mulai menjamur, namun rata-rata usaha tersebut masih bermotivasi untuk “mengangkat derajat” singkong supaya lebih bergengsi. Artinya, singkong masih dianggap sebagai bahan makanan rendahan. Banyak sekali gerai di seputar Jalan Kaliurang dengan mengusung indentitas yang sama sekali baru, seperti Singkong Talk, boleh dikatakan ingin mengarah kepada Bread Talk. Singkong sebagai identitas pangan yang dibudidayakan di Jawa dan sekitaranya dibuat sedemikian rupa untuk menyerupai pangan dalam rangka pemenuhan tuntutan modernitas. Di mata pemerintah dan masyarakat, singkong pun dianggap sebagai bahan makanan lokal yang perlu digalakkan sebagai bahan makanan pokok alternatif. Istilah bahan makanan lokal juga perlu dicermati, tidak hanya beras saja yang bisa menjadi makanan pokok, namun singkong juga bisa karena mengandung karbohidrat. Pun juga harga singkong terjangkau dibandingkan dengan harga beras yang mahal. Belum tentu semua masyarakat bisa menjangkaunya.
Namun pada zaman yang serba canggih ini, singkong telah bertransformasi dari makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat desa kini juga telah dikonsumsi oleh masyarakat kota. Singkong telah bertransformasi dari yang semula singkong hanya direbus dan diberi garam langsung bisa dimakan, kini telah menjadi makanan dengan berbagai macam penampilan dan bedak yang beragam. Keragaman inilah yang menjadi sebuah tanda tanya yang perlu dikuak dan digali lebih lanjut dengan adanya transformasi singkong yang semula tradisional ke modern, yang semula menjadi makanan kegemaran orang desa karena tinggal ambil di lading belakang rumah kini telah di gandrungi masyarakat perkotaan.
Transformasi Singkong dari Tradisional ke Moderen
            Di zaman yang serba canggih ini apapun bisa dilakukan, barang yang jelek bisa di ubah menjadi bagus, barang yang semulanya murahan bisa di rubah menjadi barang yang mahal, barang yang tidak dipakai bisa dimanfaatkan dengan segala kecanggihan teknologi saat ini. Begitu juga dengan singkong, makanan yang berasal dari desa ini kini telah sampai ke kota dengan penampilan baru yang lebih memikat konsumennya. Singkong semula hanya di konsumsi orang desa sebagai bahan makanan pokok, di rebus atau di goreng, dan sekarang ini singkong yang berada di kota telah mempunyai tampilan sendiri. Manusia semakin lama semakin cerdas, selain dirinya sendiri yang mengikuti arus modernitas, manusia dengan kecerdikan akalnya juga membuat singkong ikut ke arus modernitas. Selama ini sudah banyak sekali makanan-makanan modern yang menjamur, seperti pizza hut, burger, hot dogchicken dan lain sebagainya. Makanan modern ini membuat makanan lokal semakin tergeser. Masyarakat semakin terpengaruhi citraan yang terdapat pada makanan-makanan modern. Para pemodal menciptakan symbol yang membuat masyarakat modern menjadi tergiur. Berbagai citraan dibuat semenarik mungkin hingga merubah pandangan masyarakat, khususnya mengenai makanan.
Makanan modern yang telah menjamur di pasaran terutama di kota, di mall-mall yang membuat masyarakat seringkali berpikiran bahwa inilah makanan orang modern, makanan orang masa kini, makanan orang berduit, makanan orang gaul. Bila tidak menkonsumsi makanan ini berarti bukan orang modern alias ndeso. Tidak hanya dari symbol, dan gambar saja tapi para pemodal juga mempublikasikan makanan-makanan ini lewat iklan di televise yang secara otomatis cepat sekali mempengaruhi masyarakat sehingga pandangan masyarakat berubah terhadap makanan. Efek yang ditimbulkan dari pencitraan yang berlebihan ini membuat masyarakat tidak peduli makanan ini sehat atau tidak karena bagi mereka dengan mengkonsumsi makanan ini mereka merasa prestise mereka telah naik.
Atas berbagai alasan inilah singkong hadir di dunia modern, mengikuti arus makanan-makanan modern dengan tampilan yang berbeda. Kini, kita bisa mengetahui di kota, di mall-mall telah banyak menjamur berbagai macam makanan berbahan dasar singkong seperti kripik singkong, singkong keju, singkong talk, singkong balado, dan singkong-singkong lainnya. Singkong telah di dandani oleh para manusia dari yang pada mulanya ndeso menjadi modern bersaing dengan makanan-makanan modern lainnya. Singkong sekarang ini di buat semenarik mungkin agar para masyarakat berminat. Dengan tampilan yang beragam seperti singkong keju yang merupakan perpaduan antara nuansa tradisional dan modern yang membuat masyarakat penasaran dan tertarik dengan singkong keju ini. Singkong Talk merupakan salah satu singkong yang laris, dimana dalam makanan ini ada perpaduan bumbu Indonesia dan Barat, SingkongTalk dibuat lebih mirip dengan roti jaman sekarang sehingga membuat masyarakat tertarik, karena masyarakat sekarang banyak yang menyukai roti. Kue singkong coklat merupakan kue berbahan dasar singkong yang diberi paduan rasa coklat. Ada juga Tela-tela yang merupakan singkong goreng yang kemudian diberi berbagai macam bumbu rasa balado, keju, jagung bakar dan lain sebagainya. Pada dasarnya, singkong pada sekarang sama halnya dengan makanan modern saat ini, hanya di zaman modern ini lebih bervariasi. Dengan cerdik, manusia merubah singkong yang semula hanya di konsumsi di desa kemudian di bawa ke kota dengan tampilan meniru makanan-makanan modern saat ini. Dengan sedikit perpaduan antara singkong dengan adanya variasi campuran makanan modern, maka berubahlah singkong dari semula dikenal di desa kini menjamur di perkotaan.
Selain itu para produsen singkong juga tak kalah cerdik dengan para pemodal makanan-makanan modern saat ini. Para penjual dan pengusaha singkong modern pun juga mengcreate masyarakat dengan berbagai citraan dan symbol yang dibuat semenarik mungkin, sehingga para masyarakat pun tertarik dengan adanya singkong modern ini. Pada zaman sekarang ini permainan simbol-simbol sangat mempengaruhi masyarakat bahkan dapat merubah pandangan masyarakat, tentunya symbol yang menarik, bagus, seperti halnya yang ada dalam singkong modern dimana kemasannya di buat semenarik mungkin sehingga membuat siapa yang melihat tergiur. Selama ini kebanyakan para pengusaha singkong bermain pada rasa dan citraan yang dibuat melalui gambar, symbol, maupun iklan. Dan sekarang ini, di kota-kota besar khususnya Surabaya sendiri berbagai nmakanan yang berbahan singkong kini telah menjamur dan menjadi makanan yang cukup di gemari oleh masyarakat tentunya dengan tampilan yang berbeda. Kini singkong tak hanya di desa tapi juga merambah ke perkotaan.
Singkong dan Perilaku Masyarakat Urban
Masyarakat urban merupakan masyarakat yang tinggal di perkotaan yang muncul sebagai akibat dari kuatnya magnet kota. Masyarakat ini berasal dari penjuru-penjuru daerah, dari desa, dan juga daerah pinggiran. Mereka ummunya ingin mengadu nasib di perkotaan untuk mencari pekerjaan, berwirausaha, dan tujuannya adalah memenuhi kebutuhan agar lebih baik. Masyarakat urban yang datang ke kota kebanyakan dari mereka adalah mendirikan usaha-usaha sendiri. Seperti halnya kita ketahui di Surabaya bahwa para penjual di pasar, para penjual makanan yang berada di sekitar kampus, warung-warung pinggir jalan yang berentet di Jalan Karangmenjangan juga di Jalan Dharmawangsa, penjualnya adalah para masyarakat dari penjuru daerah lain. Kebanyakan dari mereka mengadu nasib ke kota besar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin tinggi.
Sama halnya dengan para pengusaha singkong yang berada di kota-kota. Penulis sempat melakukan sedikit wawancara dan observasi terhadap para penjual singkong moderen yang berada di sekitar Kampus B Universitas Airlangga, dan hasilnya adalah kebanyakan dari para penjual singkong ini adalah mereka yang bukan orang yang berdomisili Surabaya melainkan hampir semua dari penjual singkong adalah mereka dari daerah lain. Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya para penjual singkong yang berada di kota-kota adalah mereka yang berasal dari daerah atau masyarakat urban, mereka mempunyai ide baru untuk mentransformasi singkong mengikuti kondisi jaman. Singkong instan, cepat saji, dan bercita rasa khas moderen. Para masyarakat urban ini bermain mengikuti arus jaman, mengikuti tuntutan modernitas, sehingga dengan hasrat “memenuhi kebutuhan hidup”, “mencari penghasilan”, maka muncul ide untuk membuat singkong sesuai tuntutan modernitas, sesuai permintaan masyarakat modern saat ini.
Selain para penjual dan para pengusaha singkong maka ada pula penikmat singkong. Siapakah mereka? Para penikmat singkong di kota sudah dari berbagai macam kalangan dengan adanya tampilan singkong yang beraneka ragam saat ini. Singkong telah masuk ke pusat perbelanjaan, pusat oleh-oleh dan juga mall-mall di Indonesia. Secara otomatis, singkong telah menyebar di berbagai kalangan dan inilah yang membuat singkong menjadi eksis, tidak hanya masyarakat desa yang menikmati tapi masyarakat kota pun bisa. Lalu, bagaimana perilaku masyarakat urban sendiri terhadap singkong moderen? Masyarakat urban merupakan masyarakat yang berasal dari daerah. Menurut analisa penulis sendiri, masyarakat urban yang mengetahui adanya singkong moderen ini pastinya senang dengan adanya singkong modern, dengan catatan mereka masyarakat urban yang berpenghasilan menengah. Karena bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah membeli singkong modern dengan citarasa yang baru bisa mereka jangkau. Sedangkan bagi masyarakat urban yang berpenghasilan rendah membeli singkong moderen adalah hal yang susah, karena ada yang tentunya lebih mereka prioritaskan dari pada membeli singkong moderen ini. Selain itu, banyak pula masyarakat urban yang mengabaikan keberadaan singkong ini. Bagi mereka masyarakat urban yang telah terseret dalam arus modernitas, mereka memilih membeli makanan lain yang lebih moderen, ber brand luar yang meningkatkan prestisemereka sebagai masyarakat moderen, ada gengsi pada diri mereka untuk kembali mencicipi rasa singkong kembali. Tapi tidak semua masyarakat urban demikian, sebagian masyarakat urban sendiri merasa terobati dengan adanya singkong yang masuk ke perkotaan. Karena dengan begini singkong bisa mereka nikmati dengan cara cepat, instan, dengan beragam citarasa, dan sesuia tuntutan modernitas sat ini.
Singkong dan Identitas Antar Waktu
Telah kita ketahui dari berbagai penjelasan mengenai singkong di atas bahwasanya singkong telah mengalami perubahan, dari singkong yang semula tradisional hanya di rebus atau di goreng kini mengalami perubahan menjadi beranekaragam makanan baru. Seiring berkembangnya zaman maka segala sesuatunya pun juga mengalami perubahan termasuk singkong. Banyak sekarang ini makanan tradisional yang di moderenkan. Makanan-makanan ini hanya tinggal di poles sedikit, dengan lebih cantik, dengan tampilan menarik, dan dengan dukungan  berbagai citraan maka jadilah. Banyak pula makanan tradisional yang telah merambah mall-mall karena citarasanya yang khas dan tidak kalah dengan makanan yang berasal dari luar. Tentunya, dengan harga yang bisa dibilang fantastis.
Singkong yang semula sebagai identitas pangan yang dibudidayakan di Jawa dan sekitarnya dibuat sedemikian rupa untuk menyerupai pangan dalam rangka pemenuhan tuntutan modernitas. Modernitas ini tidak dilandaskan pada efisiensi dan efektifitas namun sekedar nama belaka. Dapat kita lihat sendiri pada kenyataannya bahwa segala macam makanan moderen belum tentu menyehatkan. Makanan-makanan yang dibuat dengan berbagai macam bumbu-bumbu masakan moderen, dan berbagai penyedap rasa yang hanya tinggal beli di pasaran, berasal dari pabrik-pabrik dimana masyarakat si penjual tidak mengetahui proses pembuatannya, benarkah makanan yang seperti ini menyehatkan. Berdasarkan data dari para ahli kesehatan dan para peneliti menyatakan bahwa penyedap rasa menyebabkan rusak otak anak-anak, sedangkan untuk orang dewasa akibatnya bisa memicu degeneratif syaraf otak, dengan munculnya parkinson, huntington, ALS dan alzheimer alias pikun. Namun, di Indonesia kurang sekali wacana menggencarkan berita ini terhadap masyarakat dan juga masyarakat yang tahu pun kurang menyadari. Bagi sebagian orang menganggap kesehatan adalah urusan akhir yang penting adalah urusan lidah.
Selain itu makanan saat ini, khususnya singkong telah bertransformasi dari singkong biasa yang tradisional, singkong yang menjadi khas masyarakat timur kini telah berduet dengan makanan khas barat. Salah satu contoh yang bisa di ambil yaitu singkong keju. Singkong yang merupakan khas timur, dan keju yang merupakan khas barat. Perpaduan antara dua makanan bertransformasi menjadi makanan baru. Seiring berjalannya waktu inilah identitas yang Indonesia. Mengikuti perkembangan zaman segalanya pun juga ikut berkembang, mengikuti arus. Menurut penulis, dari analisa singkong ini dapat diketahui bagaimana identitas singkong berubah seiring waktu dari tadisional ke moderen. Adanya percampuran dari berbagai macam pengaruh dari luar yang masuk ke Indonesia membuat segalanya mengalami perubahan, adanya asimilasi: percampuran dua budaya yang menghasilkan budaya baru. Dan ini sama halnya dengan singkong sekarang ini. Lalu, dimanakah letak identitas murni sekarang ini, identitas pada diri kita masing-masing. Masihkah ada atau jangan-jangan sudah tidak ada. Inilah yang masih menjadi pertanyaan. Pada nyatanya, modernitas telah membawa perubahan pada masyarakat Indonesia, gaya hidup, lifestyle, dan juga perilaku masyarakat. Pada akhirnya modernitas yang terjadi di Indonesia telah menciptakan banyak perubahan, pada kenyatannya pun bisa kita lihat sendiri mulai gaya hidup masyarakat,lifestyle, dan juga perilaku masyarakat yang meniru orang barat. Berbagai macam identitas khas Indonesia kini mengabur telah bercampur dengan modernitas sehingga perlu dipertanyakan kembali mana identitas diri kita sendiri dan mana pula yang bukan identitas. Dari pembahasan singkong ini mungkin bisa sedikit terkuak perilaku-perilaku masyarakat yang mulai meninggalkan adat ketimuran yang sebenarnya mengandung ajaran-ajaran yang tinggi dan beralih ke moderen. Dan dari Singkong, makanan taradisional ini kita bisa mengaca bagaimana kondisi Indonesia sekarang ini, mana identitas dan mana yang bukan identitas. Masihkah ada identitas atau sebenarnya sudah tidak ada. (sumber http://ayuwibowohandayani.blogspot.co.id/2013/01/singkong-dalam-modernitas-masyarakat.html)
4. Kebijakan Pemerintah 
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah hak pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai faktor, di antaranya harga minyak dunia, nilai tukar rupiah, dan biaya harga dasar.

 
Penetapan harga BBM tidak sepenuhnya berlandaskan pada mekanisme harga pasar yang berubah sewaktu-waktu, demikian disampaikan Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM Widhyawan Prawiraatmadja.

"Kalau kami benar-benar mengikuti harga pasar, di Papua harga BBM bisa Rp20.000, nah ini kan tidak," ujarnya.

Terkait dengan selisih harga rekomendasi dari Pertamina dan harga yang ditetapkan pemerintah untuk BBM jenis premium, ia mengatakan, untuk mencapai harga keekonomian seperti usul pemerintah, perlu proses yang bertahap agar tidak terjadi gejolak di masyarakat.

"Kalau naiknya langsung Rp8.000 per liter kan selisih dengan harga sebelumnya besar sekali," ujarnya.

Pihak Kementerian ESDM, tuturnya, sedang menyusun strategi agar selisih harga yang ada dapat ditutup kemudian hari jika harga minyak dunia turun.

"Misalnya harganya turun Rp1.000, tapi kita hanya menurunkan Rp500 agar sisanya bisa digunakan untuk menutup selisih sebelumnya," ujarnya.

Per 28 Maret 2015, harga premium penugasan di luar Jawa-Bali menjadi Rp7.300 dari sebelumnya Rp6.800 per liter pada 1 Maret 2015 dan solar bersubsidi dari Rp6.400 menjadi Rp6.900 per liter.

Sedangkan Pertamina menetapkan harga premium nonsubsidi di wilayah Jawa, Bali, dan Madura menjadi Rp7.400 dari sebelumnya Rp6.900 per liter.

Kenaikan tersebut dikarenakan peningkatan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah dalam periode sebulan terakhir.

Namun, pemerintah memutuskan besaran kenaikan harga BBM tidak murni sesuai indeks pasar karena memperhatikan juga kestabilan sosial ekonomi, pengelolaan harga, dan logistik.

Sedangkan untuk harga minyak tanah dinyatakan tetap yaitu Rp2.500 per liter.

Sebelumnya, pada 1 Maret 2015, harga premium wilayah penugasan di luar Jawa-Bali mengalami kenaikan Rp200 dari Rp6.600 per 1 Februari 2015 menjadi Rp6.800 per liter.

Sementara, harga premium nonsubsidi di wilayah Jawa dan Bali ditetapkan Pertamina juga mengalami kenaikan Rp200 menjadi Rp6.900 per liter mulai 1 Maret 2015.

Untuk harga minyak tanah dan solar bersubsidi per 1 Maret 2015, pemerintah memutuskan tetap masing-masing Rp2.500 dan Rp6.400 per liter.

Sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, premium tidak lagi menjadi barang subsidi.

Penetapannya dibagi menjadi dua, yakni oleh pemerintah untuk premium penugasan di luar Jawa-Bali, dan Pertamina untuk premium umum di Jawa-Bali.

Sementara, solar dan minyak tanah tetap barang subsidi yang harganya ditetapkan pemerintah.  (sumber http://utama.seruu.com/read/2015/03/29/245509/nih-alasan-pemerintah-menaikan-harga-bbm)